Bermodalkan
semangat untuk melampaui jumlah karya ilmiah yang dimiliki oleh Malaysia, Djoko
Santoso, Selaku Direktur Jendral (Dirjen) Dikti, beliau mengeluarkan
surat edaran pada tanggal 27 Januari 2012 perihal himbauan kepada seluruh
PTN/PTS di Indonesia untuk mempublikasikan karya ilmiah bagi mahasiswa S-1,
S-2, dan S-3 sebagai syarat kelulusan.
Semangat
untuk meningkatkan jumlah karya ilmiah ini tidak main-main, bahkan sebelumnya
pada tanggal 30 Desember 2011 Djoko Santoso juga pernah membuat surat
edaran perihal kebijakan unggah karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dosen.
Ada
menarik dari surat edaran yang dikeluarkan Dikti pada tanggal 27 Januari, yaitu
tentang alasan yang dikemukakan di dalam surat tersebut. Dimana di dalam surat
tersebut dikatakan bahwa kebijakan ini diambil sebagai upaya untuk menandingi
jumlah karya ilmiah yang dimiliki oleh Malaysia. Sepintas alasan ini sarat akan
hubungan emosional antara Indonesia-Malaysia yang terjadi belakangan ini.
Berdasarkan
data, jumlah publikasi dari ITB, UI, UGM, dan IPB pada 2005-2010 yang terindeks
dalam basis data Scopus, yakni 688 jurnal, 544 jurnal, 404 jurnal, dan 252
jurnal. Dari Universitas terbaiknya saja, jumlah jurnal ilmiah Indonesia tidak
mencapai 2000 judul, bandingkan dengan sejumlah perguruan tinggi ternama di
Thailand, Singapura dan Malaysia yang mencapai lebih dari 4.000 judul per
universitas.
Saat
ini memang jumlah jurnal karya ilmiah di perguruan tinggi Indonesia lebih
rendah ketimbang beberapa negara ASEAN lainnya. Tetapi Dirjen Dikti juga
seharusnya mempertimbangkan lebih lanjut.
Dirjen
Dikti seakan lupa untuk merujuk sistem pendidikan di negara Indonesia saat ini.
Dikti sebaiknya juga harus mau belajar dan menyelidiki mengapa di negara lain,
termasuk Malaysia, tingkat produktivitasnya lebih tinggi. Apa mungkin karena
fasilitas dan dana penelitian di Malaysia yang sudah mengikuti negara maju?
Atau mungkin karena setiap peneliti dijanjikan sebuah insentif atas karyanya?
Sehingga
setidaknya Dikti tidak “ujug-ujug” mengedarkan sebuah kebijakan .
Sehingga tak heran hal ini sontak memunculkan berbagai pandangan dan opini
yang menanggapi terkait isu tersebut. Mulai dari opini yang bernada khawatir
akan dampak dari kebijakan tersebut bagi dunia pendidikan Indonesia di masa
depan, sampai pandangan yang menolak dengan tegas atas kebijakan tersebut.
Namun
Djoko Santoso tetap tidak bergeming. Dia tidak khawatir walaupun
ada banyak PTN/PTS yang tidak menanggapi dan cenderung apatis terhadap
kebijakan publikasi karya ilmiah pada jurnal sebagai syarat kelulusan mahasiswa
ini.
“Kalau
perguruan tinggi tidak mau ikut, nanti ketinggalan zaman dan dapat sanksi
akademik sendiri,” tegas Djoko. Dan
sekali lagi ini menunjukkan bahwa Djoko sangat serius untuk menggarap rencana
ini. Bahkan Dia menegaskan kebijakan tersebut tetap diberlakukan mulai Agustus
tahun ini.
Semoga
kebijkan ini bukan hanya untuk sekedar bermodalkan semangat untuk
“menang-menangan” kuantitas jumlah karya tulis dengan Malaysia semata, namun
ini benar-benar muncul dari semangat yang tulus untuk memajukan pendidikan
Indonesia. Jika memang niatnya tulus untuk memperbaiki kualitas pendidikan
Indonesia tentunya segala permasalahan yang nantinya akan dihadapi akan
berusaha diselesaikan sesegera mungkin. Dan semoga kebijakan ini dapat menjadi
sebuah momentum bagi dunia pendidikan Indonesia untuk dapat Go
Internasional. Dan semoga bukan karena Malaysia.
Read more...